Jumat, 03 Februari 2012

got, not, who?


Aku harus memulai dari mana? cerita ini terlalu rumit untuk aku jabarkan lagi, berulang-ulang dengan tulisan. Namun, aku coba tumpukkan semua memori agar dapat tergambar lagi cerita masalalu itu. Hal yang biasa, pada saat bersekolah mempunyai seorang sahabat, kekasih, bahkan musuh. Dalam 3 tahun belakangan ini, dalam cerita kehidupanku adalah seorang sahabat. Ya, seorang, kenapa? karena seorang inilah yang memperkenalkan aku tentang benar salah nya sebuah persahabatan. Tenang suka duka nya menjadi sahabat. Terlebih mengajarkan secara terkaan menurutku definisi baru seorang sahabat itu. Wajar bukan jika aku mendewakan sahabatku? Sejauh aku menulis ini, aku masih melakukan hal yang sama, mendewakan sahabatku. Mengapa seperti itu, hey? kembali aku putar memori bagaimana  bisa seperti itu. Layaknya masa-masa sekolah menengah awal lainnya, aku menemukan banyak pengalaman luar biasa mengejutkan yang tidak aku temukan di bagian hidupku sebelumnya. Aku diperkenalkan bagaimana menjadi anak wanita pertama yang sudah harus bisa pergi kemana-mana sendiri, aku diarahkan oleh orang tua untuk bersekolah ketempat yang agak asing, mendapat pelajaran tingkat atas yang cukup rumit, harus berkelut dengan jalanan ibu kota, mencoba menangani rasa sakit secara orang dewasa, yaitu tidak usah mengeluh. Itu aku, awal aku menjadi siswi sekolah menengah. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada diriku setelah bertemu orang-orang banyak disekolah, selain menambah pertemanan saja, ya pertemanan. Dua tahun berlalu masa sekolah aku berada ditingkat yang cukup mengawan, aku mendapat kelas unggulan dan teman-teman yang lumayan bernama di lingkungan sekolahku. Entah apa yang bisa menarik aku kedalam lingkungan mereka-mereka tp sungguh, dari awal aku tidak suka dengan ada nya keterikatan dalam sebuah komitmen yang “ecek-ecek”. Sampai pada akhirnya, bertemu seorang yang perlahan merubah secara universal seorang aku, yang entah kearah mana perubahan ini, baik atau memburuk kah. Tulisan ini akan memakan waktu banyak jika aku ceritakan secara detail orang ini, yang jelas inilah seorang sahabatku itu. Terlalu banyak waktu yang aku habiskan bersama dia. Intinya mungkin itu, “Terlalu banyak waktu” sehingga jadilah seperti ini aku. Apakah itu sebuah kesalahan? Mungkin kalian berfikir iya, aku juga demikian, namun hal yang lebih fatal yang bisa disebut sebagai kesalahan adalah, aku sudah mempercayainya terlalu dalam. Ketergantungan? jelas, takut kehilangan? bukan main. Aku teramat sangat salah menjadikan bagian 3 tahun cerita ini sebagai bagian penting dalam hidupku. Karena, hal yang aku dapatkan dari perbuatan aku sendiri adalah kekecewaan. Oke, mengapa demikian? Aku sedang berusaha keras untuk menahan pedih untuk menggali kembali rasa itu. Sahabatku yang baik hati ini, hidupnya kadang terlalu komplikasi jika diibaratkan penyakit, terlalu berwarna jika sebuah lukisan. Terlihat dia perfectionis, hidupnya mapan, bekal kecerdasan yang cukup, kecantikan luar biasa, terlebih orang-orang sekitarnya yang beraneka ragam, baik yang mendukung maupun menjatuhkannya. Namun, percayalah, hanya 1:1.000.000 orang yang tidak menyukai pribadinya. Termasuk aku, aku mungkin orang nomer 1 dari 1.000.000 orang itu yang mengagu


--------

Banyak masalah yang aku ketahui, banyak juga cerita-cerita manis yang dia alami, aku tak hanya mendengarkan, kadang nasehatku sedikit banyak membantu. Kebutuhannya pada ku pada saat itu mungkin melebihi kapasitas aku sebagai seorang sahabat yang sewajarnya. Aku terlalu menyanggupi waktu yang iya butuhkan, aku selalu berusaha bahwa aku selalu ada, kapanpun, dimanapun. Sehingga jangan heran, kalau banyak omongan dari sana-sini. Ya, aku menyadari. Namun, ini hidup ku, persahabatan ku, aku yang lebih tahu dan aku yang lebih berhak menilai. Apapun itu, selagi aku bisa, aku berusaha membantu nya. Wajarkan? Sesuatu yang aneh jika tidak bertemu atau bahkan tidak mendapat kabar dia. Itulah aku, pada saat itu. Kenapa sih seperti itu? Coba ku gali lagi nurani, kenapa ya. ada apa pada diri sahabatku sehingga aku terlalu jauh seperti ini? Ternyata jawabannya cukup mudah bagi ku, karena dia membutuhkan aku, begitu pun aku. Gampang kan kalimat itu membuat hidupku menjadi rumit seperti ini? Karena selama perjalan persahabatan ini pun tidak selalu baik-baik saja. Kadang sering terjadi kesalah pahamaman dan pertengkaran-pertengkaran yang semakin membuat kita yakin bahwa setiap masalah dijadikan pelajaran bagi kita berdua, untuk kebaikan persahabatan kita. Sejauh itu, semua masih bisa terkendali dan diselesaikan baik-baik saja. Semua berjalan sesuai keinginan kita berdua. Kita berdua? ha, sepertinya tidak, dia tidak menginginkan yang seperti ini. Sampai akhirnya masalah terbesar itu muncul. Seperti anak gunung yang belum lama dilaharikan oleh induk gunungnya, ini merupakan letusan perdana yang paling dahsyat. Sangat menggemparkan. Merusak. Menghancurkan semua. Masalah ini……. ya biasa, masalah yang sebelumnya pernah kita hadapi dan bisa diselesaikan namun untuk kali ini sepertinya terlalu besar ledakannya, aku tidak mampu untuk mengatasinya. Seorang pria baru hadir dalam hidupnya, itu perbedaan kami, terlalu banyak orang yang menyayanginya hingga aku harus berusaha keras tetap menjadi yang pertama, sahabatnya. Sejak awal aku sudah mencium aroma-aroma kehancuran dan kehilangan, aku diam saja. Karena memang aku tidak terlalu banyak cerita kepada dia, namun apapun dia ceritakan. Tetapi….aku orang yang terlalu bermulut banyak untuk membicarakan soal persahabatan ini, sedikit apapun yang aku rasa aneh pasti aku beritahu. Hanya tak ingin kehilangan. Itu saja. Dia paham betul apa yang aku maksut. Tak banyak bertanya namun aku terus menjelaskan berbelit-belit apa yang aku rasakan. Dia paham, mungkin sedikit. Kesedikitan pehamannya itu membuat aku menjauh sesaat, untuk memikirkan lagi bagaimana agar persahabatan ini tetap bertahan. Aku berfikir keras, karena kemauan yang aku miliki pun sangat keras, begitu juga hatiku. Terlalu keras untuk mendengar yang tidak aku inginkan. Karena menurutku, semua yang sudah aku fikirkan didalam otakku, tidak dapat seorangpun mengubah. Termasuk sahabatku. Kasihan sahabatku, mempunyai sahabat macam aku. Egois. Dia ingin mempertahankan kebahagiaan barunya namun tidak ingin juga membuang kebahagiaan lamanya. Namun aku, aku hanya menginginkan kebahagiaan yang sama. Tidak ada yang baru ataupun yang lama. Kebahagiaan ku hanya satu. Menjauhnya aku sesaat itu, membuat tugasku sebagai seorang sahabatku lalai, aku tidak seperhatian dulu, aku tidak menjadi pendengar yang baik lagi, aku tidak ada disaat dia butuhkan lagi, aku tidak tahu lagi cerita-cerita dia lagi, sahabat macam apa aku? Aku salah, saat itu. Namun, yang aku temukan justru kerumitan akan jawaban apa yang harus aku lakukan saat itu dan nanti? Kesalahan besar aku menjauh dari dia, kesalahan besar aku mengabaikan diriku sendiri, kesalahan besar aku menyakiti diriku, kesalahan besar aku melalaikan tugasku. Terlalu banyak kesalahan. Tak ada jalan pintas, yang harus aku tempuh, hanya satu,menghadapinya. Aku berkali berusaha untuk menghadapi namun kalah oleh keadaan, aku kembali mundur. Berulang-ulang aku mencoba untuk bernegosiasi selalu aku yang payah oleh konsekwensi. Kasihan…..aku benar-benar terbukti bukan sorang sahabat yang baik. Jauh lebih baik Patrick menjadi sahabat Spongebob yang selalu setia menemani, yang selalu mendukung sahabatnya terlebih kekurangan yang dimiliki Patrick, aku jauh lebih harus mampu dewasa, namun kenyataannya tidak. Aku terlalu mengagungkan ego. 


 -------

Aku terlalu egois. Hari-hari terburuk aku lalui selama kurang lebih tiga bulan. Kewajiban ku sebagai sahabat sudah tidak bisa lagi aku lakukan sebagaimana biasanya. Namun aku berusaha melakukannya hanya dengan sebuah tulisan. Sebagai bukti, aku tak sepenuhnya mangikir dari sahabatku, aku tetap sahabatnya, didalam tulisan. Secara terperinci hidupku berubah tidak drastic namun perlahan mengglobal. Dimulai aku bangun sampai kembali ke tidur, tidak kutemui kebahagiaan lain,selain kesedihan. Kembali kesahabatku, dia terlihat jauh lebih bahagia, dia semakin dewasa, tentunya cantik tak pernah berubah, dia sahabatku. Kadang perhatiannya kembali hadir, namun tidak seperti dulu, ya aku paham. Karena akupun begitu, aku tidak lagi memperhatikannya. Jadi, wajar saja kalau apa yang dia lakukan itu sama seperti apa yang aku lakukan terhadap nya. Sepertinya terlalu bertele-tele, aku pergi. Berkedok aku ingin belajar padahal disana aku meratapi nasib jauh dari rumah, jauh dari sahabatku. Aku hanya ingin sendiri, namun lagi-lagi aku salah. Aku tak bisa. Namun disana, banyak pelajaran yang aku dapatkan. Aku merenungi apa-apa saja yang sudah aku dapat, apa yang belum, dan siapa aku. Aku berfikir keras, untuk apa aku sebagai anak, untuk apa aku sebagai sahabat. Lagi-lagi aku terfokus pada sahabatku, seorang sahabatku yang jauh disana. Aku harus apa agar bisa mengembalikan sahabatku? Menculiknya kesinikah atau apa? Aku merindukannya. Sangat. semenjak kejadian itu, kualitas persahabatan kita menurun drastis bagai inflasi tahun 90an. Aku tak lagi bertemu setiap hari. Tak terbayang rindu yang aku rasakan. Untuk sahabatku, terus cari kebagiaanmu, aku sahabatmu, yang tidak baik ini akan terus menunggu, melihat apa yang kau dapatkan. Aku berusha untuk mendukung apapun sekarang dirimu. Aku tidak akan menyerah. Sekarang, aku memahami apa arti yang sudah aku miliki, jangan sampai aku kehilangan lagi. Untuk apa yang aku belum miliki, aku berusaha mendapatkan nya suatu saat nanti, bahkan apapun yang sudah hilang pada diriku, aku yang pasti kembali. Dan aku mengenal baik siapa aku, aku adalah orang yang paling mengerti diriku. Aku orang yang selalu ingin kebahagiaan. Aku adalah masa depan. Bukan masalalu, sekarang bukan aku, tapi mencitraan untuk masa depan ku. Aku bukan lagi orang yang perlu mengumbar kata-kata. Tapi aku kan terus menulis cerita. Terlalu singkat ringkasan ini. Terimakasih.


1 komentar:

  1. tulisannya terlalu kecil jadi agak kesulitan nih membacanya.. :)

    salam.

    BalasHapus