Aku harus memulai dari mana? cerita ini terlalu rumit untuk
aku jabarkan lagi, berulang-ulang dengan tulisan. Namun, aku coba tumpukkan
semua memori agar dapat tergambar lagi cerita masalalu itu. Hal yang biasa,
pada saat bersekolah mempunyai seorang sahabat, kekasih, bahkan musuh. Dalam 3
tahun belakangan ini, dalam cerita kehidupanku adalah seorang sahabat. Ya,
seorang, kenapa? karena seorang inilah yang memperkenalkan aku tentang benar
salah nya sebuah persahabatan. Tenang suka duka nya menjadi sahabat. Terlebih
mengajarkan secara terkaan menurutku definisi baru seorang sahabat itu. Wajar
bukan jika aku mendewakan sahabatku? Sejauh aku menulis ini, aku masih
melakukan hal yang sama, mendewakan sahabatku. Mengapa seperti itu, hey?
kembali aku putar memori bagaimana bisa
seperti itu. Layaknya masa-masa sekolah menengah awal lainnya, aku menemukan
banyak pengalaman luar biasa mengejutkan yang tidak aku temukan di bagian
hidupku sebelumnya. Aku diperkenalkan bagaimana menjadi anak wanita pertama
yang sudah harus bisa pergi kemana-mana sendiri, aku diarahkan oleh orang tua
untuk bersekolah ketempat yang agak asing, mendapat pelajaran tingkat atas yang
cukup rumit, harus berkelut dengan jalanan ibu kota, mencoba menangani rasa
sakit secara orang dewasa, yaitu tidak usah mengeluh. Itu aku, awal aku menjadi
siswi sekolah menengah. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada diriku setelah
bertemu orang-orang banyak disekolah, selain menambah pertemanan saja, ya
pertemanan. Dua tahun berlalu masa sekolah aku berada ditingkat yang cukup
mengawan, aku mendapat kelas unggulan dan teman-teman yang lumayan bernama di
lingkungan sekolahku. Entah apa yang bisa menarik aku kedalam lingkungan
mereka-mereka tp sungguh, dari awal aku tidak suka dengan ada nya keterikatan
dalam sebuah komitmen yang “ecek-ecek”. Sampai pada akhirnya, bertemu seorang
yang perlahan merubah secara universal seorang aku, yang entah kearah mana
perubahan ini, baik atau memburuk kah. Tulisan ini akan memakan waktu banyak
jika aku ceritakan secara detail orang ini, yang jelas inilah seorang sahabatku
itu. Terlalu banyak waktu yang aku habiskan bersama dia. Intinya mungkin itu, “Terlalu
banyak waktu” sehingga jadilah seperti ini aku. Apakah itu sebuah kesalahan?
Mungkin kalian berfikir iya, aku juga demikian, namun hal yang lebih fatal yang
bisa disebut sebagai kesalahan adalah, aku sudah mempercayainya terlalu dalam.
Ketergantungan? jelas, takut kehilangan? bukan main. Aku teramat sangat salah
menjadikan bagian 3 tahun cerita ini sebagai bagian penting dalam hidupku.
Karena, hal yang aku dapatkan dari perbuatan aku sendiri adalah kekecewaan.
Oke, mengapa demikian? Aku sedang berusaha keras untuk menahan pedih untuk
menggali kembali rasa itu. Sahabatku yang baik hati ini, hidupnya kadang
terlalu komplikasi jika diibaratkan penyakit, terlalu berwarna jika sebuah
lukisan. Terlihat dia perfectionis, hidupnya mapan, bekal kecerdasan yang
cukup, kecantikan luar biasa, terlebih orang-orang sekitarnya yang beraneka
ragam, baik yang mendukung maupun menjatuhkannya. Namun, percayalah, hanya 1:1.000.000
orang yang tidak menyukai pribadinya. Termasuk aku, aku mungkin orang nomer 1
dari 1.000.000 orang itu yang mengagu
--------
Banyak masalah yang aku ketahui,
banyak juga cerita-cerita manis yang dia alami, aku tak hanya mendengarkan,
kadang nasehatku sedikit banyak membantu. Kebutuhannya pada ku pada saat itu
mungkin melebihi kapasitas aku sebagai seorang sahabat yang sewajarnya. Aku terlalu
menyanggupi waktu yang iya butuhkan, aku selalu berusaha bahwa aku selalu ada,
kapanpun, dimanapun. Sehingga jangan heran, kalau banyak omongan dari
sana-sini. Ya, aku menyadari. Namun, ini hidup ku, persahabatan ku, aku yang
lebih tahu dan aku yang lebih berhak menilai. Apapun itu, selagi aku bisa, aku
berusaha membantu nya. Wajarkan? Sesuatu yang aneh jika tidak bertemu atau
bahkan tidak mendapat kabar dia. Itulah aku, pada saat itu. Kenapa sih seperti
itu? Coba ku gali lagi nurani, kenapa ya. ada apa pada diri sahabatku sehingga
aku terlalu jauh seperti ini? Ternyata jawabannya cukup mudah bagi ku, karena
dia membutuhkan aku, begitu pun aku. Gampang kan kalimat itu membuat hidupku
menjadi rumit seperti ini? Karena selama perjalan persahabatan ini pun tidak
selalu baik-baik saja. Kadang sering terjadi kesalah pahamaman dan
pertengkaran-pertengkaran yang semakin membuat kita yakin bahwa setiap masalah
dijadikan pelajaran bagi kita berdua, untuk kebaikan persahabatan kita. Sejauh
itu, semua masih bisa terkendali dan diselesaikan baik-baik saja. Semua
berjalan sesuai keinginan kita berdua. Kita berdua? ha, sepertinya tidak, dia
tidak menginginkan yang seperti ini. Sampai akhirnya masalah terbesar itu
muncul. Seperti anak gunung yang belum lama dilaharikan oleh induk gunungnya, ini
merupakan letusan perdana yang paling dahsyat. Sangat menggemparkan. Merusak.
Menghancurkan semua. Masalah ini……. ya biasa, masalah yang sebelumnya pernah
kita hadapi dan bisa diselesaikan namun untuk kali ini sepertinya terlalu besar
ledakannya, aku tidak mampu untuk mengatasinya. Seorang pria baru hadir dalam
hidupnya, itu perbedaan kami, terlalu banyak orang yang menyayanginya hingga
aku harus berusaha keras tetap menjadi yang pertama, sahabatnya. Sejak awal aku
sudah mencium aroma-aroma kehancuran dan kehilangan, aku diam saja. Karena
memang aku tidak terlalu banyak cerita kepada dia, namun apapun dia ceritakan.
Tetapi….aku orang yang terlalu bermulut banyak untuk membicarakan soal
persahabatan ini, sedikit apapun yang aku rasa aneh pasti aku beritahu. Hanya
tak ingin kehilangan. Itu saja. Dia paham betul apa yang aku maksut. Tak banyak
bertanya namun aku terus menjelaskan berbelit-belit apa yang aku rasakan. Dia
paham, mungkin sedikit. Kesedikitan pehamannya itu membuat aku menjauh sesaat,
untuk memikirkan lagi bagaimana agar persahabatan ini tetap bertahan. Aku
berfikir keras, karena kemauan yang aku miliki pun sangat keras, begitu juga
hatiku. Terlalu keras untuk mendengar yang tidak aku inginkan. Karena
menurutku, semua yang sudah aku fikirkan didalam otakku, tidak dapat seorangpun
mengubah. Termasuk sahabatku. Kasihan sahabatku, mempunyai sahabat macam aku.
Egois. Dia ingin mempertahankan kebahagiaan barunya namun tidak ingin juga
membuang kebahagiaan lamanya. Namun aku, aku hanya menginginkan kebahagiaan
yang sama. Tidak ada yang baru ataupun yang lama. Kebahagiaan ku hanya satu.
Menjauhnya aku sesaat itu, membuat tugasku sebagai seorang sahabatku lalai, aku
tidak seperhatian dulu, aku tidak menjadi pendengar yang baik lagi, aku tidak
ada disaat dia butuhkan lagi, aku tidak tahu lagi cerita-cerita dia lagi,
sahabat macam apa aku? Aku salah, saat itu. Namun, yang aku temukan justru
kerumitan akan jawaban apa yang harus aku lakukan saat itu dan nanti? Kesalahan
besar aku menjauh dari dia, kesalahan besar aku mengabaikan diriku sendiri,
kesalahan besar aku menyakiti diriku, kesalahan besar aku melalaikan tugasku.
Terlalu banyak kesalahan. Tak ada jalan pintas, yang harus aku tempuh, hanya
satu,menghadapinya. Aku berkali berusaha untuk menghadapi namun kalah oleh
keadaan, aku kembali mundur. Berulang-ulang aku mencoba untuk bernegosiasi
selalu aku yang payah oleh konsekwensi. Kasihan…..aku benar-benar terbukti
bukan sorang sahabat yang baik. Jauh lebih baik Patrick menjadi sahabat Spongebob
yang selalu setia menemani, yang selalu mendukung sahabatnya terlebih
kekurangan yang dimiliki Patrick, aku jauh lebih harus mampu dewasa, namun
kenyataannya tidak. Aku terlalu mengagungkan ego.
-------
Aku terlalu egois. Hari-hari terburuk
aku lalui selama kurang lebih tiga bulan. Kewajiban ku sebagai sahabat sudah
tidak bisa lagi aku lakukan sebagaimana biasanya. Namun aku berusaha
melakukannya hanya dengan sebuah tulisan. Sebagai bukti, aku tak sepenuhnya
mangikir dari sahabatku, aku tetap sahabatnya, didalam tulisan. Secara
terperinci hidupku berubah tidak drastic namun perlahan mengglobal. Dimulai aku
bangun sampai kembali ke tidur, tidak kutemui kebahagiaan lain,selain
kesedihan. Kembali kesahabatku, dia terlihat jauh lebih bahagia, dia semakin
dewasa, tentunya cantik tak pernah berubah, dia sahabatku. Kadang perhatiannya
kembali hadir, namun tidak seperti dulu, ya aku paham. Karena akupun begitu,
aku tidak lagi memperhatikannya. Jadi, wajar saja kalau apa yang dia lakukan
itu sama seperti apa yang aku lakukan terhadap nya. Sepertinya terlalu
bertele-tele, aku pergi. Berkedok aku ingin belajar padahal disana aku meratapi
nasib jauh dari rumah, jauh dari sahabatku. Aku hanya ingin sendiri, namun
lagi-lagi aku salah. Aku tak bisa. Namun disana, banyak pelajaran yang aku
dapatkan. Aku merenungi apa-apa saja yang sudah aku dapat, apa yang belum, dan
siapa aku. Aku berfikir keras, untuk apa aku sebagai anak, untuk apa aku
sebagai sahabat. Lagi-lagi aku terfokus pada sahabatku, seorang sahabatku yang
jauh disana. Aku harus apa agar bisa mengembalikan sahabatku? Menculiknya
kesinikah atau apa? Aku merindukannya. Sangat. semenjak kejadian itu, kualitas
persahabatan kita menurun drastis bagai inflasi tahun 90an. Aku tak lagi
bertemu setiap hari. Tak terbayang rindu yang aku rasakan. Untuk sahabatku, terus cari kebagiaanmu, aku sahabatmu, yang tidak baik ini akan terus menunggu, melihat apa yang kau dapatkan. Aku berusha untuk mendukung apapun sekarang dirimu. Aku tidak akan menyerah. Sekarang, aku
memahami apa arti yang sudah aku miliki, jangan sampai aku kehilangan lagi.
Untuk apa yang aku belum miliki, aku berusaha mendapatkan nya suatu saat nanti,
bahkan apapun yang sudah hilang pada diriku, aku yang pasti kembali. Dan aku
mengenal baik siapa aku, aku adalah orang yang paling mengerti diriku. Aku
orang yang selalu ingin kebahagiaan. Aku adalah masa depan. Bukan masalalu,
sekarang bukan aku, tapi mencitraan untuk masa depan ku. Aku bukan lagi orang
yang perlu mengumbar kata-kata. Tapi aku kan terus menulis cerita. Terlalu
singkat ringkasan ini. Terimakasih.
tulisannya terlalu kecil jadi agak kesulitan nih membacanya.. :)
BalasHapussalam.